Semua jenis perkara sudah pasti mempunyai semacam tanda atau dalam ilmu logikanya disebut dilalah. Menurut pengertian ilmu logika Dilalah adalah memahami sesuatu yang dapat menunjukkan sasuatu pengertian lain seperti kata rumah, menujukkan satu bangunan tempat tinggal yang terdiri dari tembok, tiang, atap pintu dan bagian bangunan yang lainnya.
Secara umum dalam ilmu logika dilalah atau tanda hanya terbagi menjadi dua :
1. Dilalah Lafdziyah yaitu tanda yang menggunakan kata-kata seperti contoh yang barusan
2. Dilalah Ghoiru Lafdziyah yaitu tanda yang tidak menggunakan kata-kata, misalnya asap sebagai tanda kalau sedang ada sesuatu yang terbakar.
Meskipun secara umum dilalah hanya terbagi dua, tapi kalau kita runtut lagi dilalah yang ada akan bertambah menjadi enam bagian dengan komposisi tiga dari cabang dilalah lafdziyah dan tiga dari cabang dilalah Ghoiru Lafdziyah. Keenam bagian dilalah tersebut adalah :
1. Dilalah Lafdziyah Thobi’iyah yaitu dilalah yang sifatnya adalah pembawaan, misalnya rintihan sebagai tanda orang yang sedang sakit dan sesak nafas sebagai tanda sakit Asma.
2. Dilalah lafdziyah Aqliyah yaitu dilalah yang hanya berdasarkan naluri akal saja, misalnya ada suara dibalik tembok sebagai tanda adanya orang disana.
3. Dilalah Lafdziyah Wadl’iyah yaitu dilalah yang berdasarkan penetapan istilah, misalnya kata yang menunjukkan arti yang ditetapkan dalam bahasa seperti Es jeruk menunjukkanminuman perasan jeruk yang diberi es dan singa sebagai tanda hewan buas.
4. Dilalah Ghoiru Lafdziyah Thobi’iyah yaitu dilalah yang sifatnya adalah pembawaan, seperti merah merona sebagai tanda malu
5. Dilalah Ghoiru Lafdziyah Aqliyah yaitu dilalah yang berdasarkan naluri akal, seperti perubahan barang-barang yang ada dalam satu ruangan sebagai tanda adanya orang yang masuk dan mengadakan peruban tata letak.
6. Dilalah Ghoiru Lafdziyah Wadl’iyah yaitu misalnya isyarah sebagai tanda untuk mengucapkan ya atau tidak.
Dari sekian banyak dilalah, hanya satu dilalah yang menjadi pembahasan dalam ilmu logika yaitu Dilalah Lafdziyah Wad’iyah yang mana dilalah ini terbagi lagi menjadi tiga sebagaimana yang diutarakan Syekh Abdur Rahman al Akhdlori dalam Sullam Munawroqnya.
دِلاَلَةُ اللَّفْظِ عَلَى مَا وَافَقَهْ # يَدْعُوْنَهَا دِلاَلَةَ الْمُطَابَقَةْ
وَجُزْئِهِ تَضَمُّناً وَمَا لَزِمْ # فَهُوَ الْتِزَامُ اِنْ بِعَقْلِ الْتُزِمْ
· Dilalahnya Lafadh yang mencocoki Makna dengan sempurna itu disebut Dilalah Muthobaqoh.· Dan bila mecocoki sebagian Makna saja maka dinamakan Dilalah Tadhommun dan dinamakan Dilalah Iltizamiyah bila menunjukkan makna yang tetap dan bisa dicerna Akal.
Sebelumnya telah dijelaskan bahwa tanda ada dua adakalanya berupa kata dan bukan kata sebagaimana penjelasan diatas. Sekarang perlu kita ketahui bersama, bahwa setiap kata mempunyai arti yang mencakup keseluruhan sifat-sifat yang dimilikinya (konotasi). Selain arti, kata juga mengandung makna yang akan menjadi sangat jelas bila ditempatkan dalam satu susunan kata-kata, yang mana hal ini dalam logika disebut denotasi. Denotasi adalah tanda (dilalah) dari suatu benda atau sejumlah benda yang ditunjukkan oleh lafadh (term) tersebut.
Pembagian Dilalah Lafdziyah Wadl’iyah
Dalam keterangan sebelumnya telah dijelaskan bahwa Dilalah lafdziyah Wad’iyah terbagi menjadi tiga, sebagaimana berikut :
1. Dilalah Muthobiqiyah (Denotasi Lengkap) yaitu apabila makna yang ada dalam kata selaras dengan arti yang ditunjukkan, seperti contoh Saya membeli rumah. Dalam contoh ini rumah yang dimaksud adalah rumah utuh, secara arti dan makna.
2. DIlalah Tadlommun (Denotasi Implikatif) yaitu apabila makna yang ada dalam kata hanya menunjukkan sebagian dari arti secara sempurna, seperti contoh Saya Mengetuk Rumah. Dalam contoh ini rumah yang dimaksud adalah pintu saja, bahkan hanya sebagian kecil dari daun pintu.
3. Dilalah Iltizamiyah (Denotasi Inhern) yaitu apabila makna yang dimaksud adalah pengertian lain yang masih merupakan lazim dari kata tersebut, seperti contoh Saya mencangkul di rumah saya. Dalam contoh ini rumah yang dimaksud adalah pekarangan, karena sudah menjadi lazim kalau rumah mempunyai pekarangan.
Dilalah Tadlomuniyah dan Dilalah Iltizamiyah itu menetap dalam dilalah Muthobiqiyah seperti contoh di atas, daun pintu dan pekarangan tersebut sudah menetap dalam kata rumah, tapi Dilalah Muthobiqiyah tidak bisa menetap dalam kedua dilalah setelahnya. Seperti kata pintu dan pekarangan, karena kedua hal ini terkadang bukan milik rumah tapi milik selain rumah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar